Selasa, 11 Maret 2008

PERAN PERAWAT DALAM MENANGANI MASALAH PSIKOSOSIAL PENDERITA HIV/AIDS

Sejak awal kemunculannya, penyakit AIDS memang sangat fenomenal. Kasus pertama AIDS dilaporkan pada tahun 1981 di California, sedangkan penyebabnya baru ditemukan pada alkhir 1984 oleh Robert Gallo dan Luc Montagner. (Sudoyo, 2006) Sejak pertama kali penyakit ini ditemukan, manifestasi klinis dari penyakit ini begitu meresahkan. Kenyataan bahwa penyakit ini dapat dengan mudah menulari orang lain, membuat AIDS pun menjadi salah satu momok menakutkan, bahkan bagi tenaga kesehatan yang termasuk salah satu kelompok yang berisiko cukup tinggi.

Reaksi spontan masyarakat (termasuk kalangan kedokterannya sendiri) pada masa pertama kali menghadapi penyakit AIDS ini adalah menjauhkan diri dari penderita, berusaha tidak menyentuh penderita, menggunakan obat-obat pensuci hama dan bila perlu membakar kasur atau pakaian yang bekas dipakai penderita. Reaksi awal yang bernada panik inilah yang terlanjur tersebar keseluruh dunia melalui media massa Barat, sehingga sekarang ini di banyak negara di dunia masih berlaku kepercayaan yang salah tentang AIDS ini, sementara di negara-negara Barat sendiri sikap masyarakat sudah jauh lebih tenang dan rasional sehubungan dengan ditemukannya berbagai sifat dari penyakit ini. (Sarwono)

Tingkat pertumbuhan penderita AIDS di Indonesia cukup tinggi. Departemen Kesehatan (DEPKES) memprediksi pada tahun 2010 HIV/AIDS di Indonesia akan menjadi pandemi. Peningkatan infeksi HIV pada penyalahguna narkoba terjadi secara signifikan. Pada tahun 1999, peningkatannya mencapai 15%, tahun 2000 membengkak menjadi 40%, dan dua tahun kemudian, tepatnya 2002, telah mengembung menjadi 47,9%. Sementara itu, infeksi HIV pada donor darah secara nasional memperlihatkan besaranya kurang dari dua setiap per 10.000 kantong darah di awal 2001. Pada tiga tahun terakhir antara 1997-2000 infeksi HIV pada donor darah di Indonesia meningkat hingga sepuluh kali lipat.

Pada awal mula penyakit ini berkembang di Indonesia, kelompok pengidap penyakit ini adalah orang-orang yang memiliki perilaku berganti-ganti pasangan dalam berhubungan seks. Kebanyakan penderita AIDS adalah mereka yang melakukan perilaku seks tidak sehat, yang dalam hal ini melanggar norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Kemudian, AIDS juga banyak diderita oleh pemakai narkoba yang menggunakan jarum suntik karena adanya kebiasaan menggunakan jarum suntik secara bergantian. Kenyataan ini menimbulkan stigma pada masyarakat yang menyebutkan bahwa HIV/AIDS muncul sebagai akibat penyimpangan perilaku seks dari nilai, norma, dan agama, penyakit pergaulan bebas, atau penyakit kaum perempuan nakal. Bahkan lebih parah lagi adanya stigma bahwa HIV/AIDS merupakan kutukan Tuhan karena perbuatan-perbuatan menyimpang itu.

Kenyataan bahwa manifestasi klinis penyakit ini begitu membahayakan kehidupan, belum ditemukan obatnya, dan penyakit ini dapat menular ke orang lain memperparah stigma negatif yang ada pada masyarakat. Banyak masyarakat yang menganggap HIV/AIDS sangat menular dan bahkan bersentuhan dengan penderita dapat menularkan HIV dan HIV/AIDS selalu berkaitan dengan perilaku yang tidak benar sehingga penderita AIDS dikucilkan dan didiskriminasi.

Adanya stigma dalam masyarakat ini menimbulkan masalah psikosial yang rumit bagi penderita AIDS. Pengucilan penderita dan diskriminasi tidak jarang membuat penderita AIDS tidak mendapatkan hak-hak asasinya. Begitu luasnya masalah sosial yang berkaitan dengan stigma ini, karena diskriminasi terjadi di berbagai pelayanan masyarakat bahkan tidak jarang dalam pelayanan kesehatan sendiri.

Stigma-stigma negatif pada masyarakat ini membuat penderita atau keluarga menjadi malu dan takut. Keluarga jadi malu untuk memeriksakan anggota keluarga yang menderita AIDS diri ke rumah sakit atau pusat-pusat pelayanan kesehatan, begitu pula dengan penderitanya sendiri, jadi malu untuk memeriksakan dirinya sendiri. Imbasnya, mereka yang berpotensi tertular virus ini pun menjadi enggan memeriksakan diri pula, merasa lebih baik tidak tahu sama sekali daripada tahu dan kemudian dipandang negatif dan dikucilkan oleh masyarakat.

Beban psikososial yang dialami seorang penderita AIDS adakalanya lebih berat daripada beban fisiknya. Beban yang diderita pasien AIDS baik karena gejala penyakit yang bersifat organik maupun beban psikososial dapat menimbulkan rasa cemas, depresi, kurang percaya diri, putus asa, bahakn keinginan untuk bunuh diri. Kalau sudah begini, upaya mengantisipasi perkembangan HIV/AIDS mengalami kendala yang cukup berat dan tentunya menghambat upaya-upaya pencegahan dan perawatan.

Keterlibatan berbagai pihak diharapkan mampu mengatasi permasalahan psikososial. Pemahaman yang benar mengenai AIDS perlu disebarluaskan. Kenyataan bahwa dalam era obat antiretroviral, AIDS sudah menjadi penyakit kronik yang dapat dikendalikan juga perlu dimasyarakatkan karena konsep tersebut dapat memberi harapan pada masyarakat dan penderita HIV/AIDS bahwa penderita AIDS dapat menikmati kualitas hidup yang lebih baik dan berfungsi di masyarakat.

Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan konseling dan pendampingan (tidak hanya psikoterapi tetapi juga psikoreligi), edukasi yang benar tentang HIV/AIDS baik pada penderita, keluarga dan masyarakat. Sehingga penderita, keluarga maupun masyarakat dapat menerima kondisinya dengan sikap yang benar dan memberikan dukungan kepada penderita. Adanya dukungan dari berbagai pihak dapat menghilangkan berbagai stresor dan dapat membantu penderita meningkatkan kualitas hidupnya sehingga dapat terhindar dari stress, depresi, kecemasan serta perasaan dikucilkan. (Susiloningsih)

Peran seorang perawat dalam mengurangi beban psikis seorang penderita AIDS sangatlah besar. Lakukan pendampingan dan pertahankan hubungan yang sering dengan pasien sehinggan pasien tidak merasa sendiri dan ditelantarkan. Tunjukkan rasa menghargai dan menerima orang tersebut. Hal ini dapat meningkatkan rasa percaya diri klien.

Perawat juga dapat melakukan tindakan kolaborasi dengan memberi rujukan untuk konseling psikiatri. Konseling yang dapat diberikan adalah konseling pra-nikah, konseling pre dan pascates HIV, konseling KB dan perubahan prilaku. Konseling sebelum tes HIV penting untuk mengurangi beban psikis. Pada konseling dibahas mengenai risiko penularan HIV, cara tes, interpretasi tes, perjalanan penyakit HIV serta dukungan yang dapat diperoleh pasien. Konsekuensi dari hasil tes postif maupun negatif disampaikan dalam sesi konseling. Dengan demikian orang yang akan menjalani testing telah dipersiapkan untuk menerima hasil apakah hasil tersebut positif atau negatif.

Mengingat beban psikososial yang dirasakan penderita AIDS akibat stigma negatif dan diskriminasi masyarakat adakalanya sangat berat, perawat perlu mengidentifikasi adakah sistem pendukung yang tersedia bagi pasien. Perawat juga perlu mendorong kunjungan terbuka (jika memungkinkan), hubungan telepon dan aktivitas sosial dalam tingkat yang memungkinkan bagi pasien. Partisipasi orang lain, batuan dari orang terdekat dapat mengurangi perasaan kesepian dan ditolak yang dirasakan oleh pasien. Perawat juga perlu melakukan pendampingan pada keluarga serta memberikan pendidikan kesehatan dan pemahaman yang benar mengenai AIDS, sehingga keluarga dapat berespons dan memberi dukungan bagi penderita.

Aspek spiritual juga merupakan salah satu aspek yang tidak boleh dilupakan perawat. Bagi penderita yang terinfeksi akibat penyalahgunaan narkoba dan seksual bebas harus disadarkan agar segera bertaubat dan tidak menyebarkannya kepada orang lain dengan menjaga perilakunya serta meningkatkan kualitas hidupnya. Bagi seluruh penderita AIDS didorong untuk mendekatkan diri pada Tuhan, jangan berputus asa atau bahkan berkeinginan untuk bunuh diri dan beri penguatan bahwa mereka masih dapat hidup dan berguna bagi sesama antara lain dengan membantu upaya pencegahan penularan HIV/AIDS.

Referensi:

”2010, AIDS Jadi Epidemi di Indonesia” diambil pada 20 Februari 2008 dari http://hqweb01.bkkbn.go.id/hqweb/ceria/map105dua.html

Doenges, M. E. Marilyn Frances Moorhouse & Alice C. Geissler. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan. Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC

Sarwono, Sarlito Wirawan. “Aspek Psikososial AIDS” diambil pada 10 Maret 2008 dari http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/12_AspekPsikososialAids.pdf/12_AspekPsikososialAids.html

Sudoyo, Aru W.(2006) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Susiloningsih, Agus. ”AIDS: Aspek Klinis, Permasalahan dan Harapan” diambil pada 20 Februari 2008 dari http://fkuii.org/tiki-index.php?page=halaman2

Tidak ada komentar: